Social Icons

twitterfacebook

Pages

Sabtu, 24 Maret 2012

-----------18.06-----------

TITIK JENUH




Ada rasa yang ingin ku patahkan
Ada rasa yang ingin ku ungkapkan
Dengan tangan yang tak kokoh lagi
Dengan pikiran keruh
Dengan segala kegundahan ini

Ku diam
Ku tak punya inisiatif
Ku penakut
Ku tak bisa berterus terang
Bahwa ku sangat bosan

Cuman meminta setetes embun
Saying Halo…
Sejenak dan mulai beranjak

 Dan ini...
Adalah titik pertemuan
Yang hanya menjadi harapan


Ingin ku coba

Untuk kalahkan

Jumat, 23 Maret 2012

Salahkah Waktu....?

Skala waktu merupakan ukuran interval antara suatu kejadian dengan kejadian. Ada yang mendefenisikan waktu adalah uang. Waktu adalah pedang. Waktu adalah ilusi. Sangat banyak orang mendefenisikan waktu menurut perspektif mereka masing-masing. 

Terlepas dari berbagai defenisi waktu tadi yang paling sering adalah kita selalu menyalahkan waktu.  Waktu selalu menjadi kambing hitam atas semua masalah yang kita alami. Waktu menjadi pelengkap atas seribu alasan atas semua kejadian yang kita alami dan terkadang kita merasa waktu yang tersedia 24 jam per hari ini begitu sangat tidak cukup.

Dan sekarang itulah yang saya alami. Saya tergugah untuk menulis sedikit pengalaman yang saya alami akhir-akhir ini. Beberapa bulan yang lalu saya menyempatkan diri untuk bergabung pada suatu kegiatan yang diselenggarakan salah satu Paguyuban yang merupakan organisasi yang didalamnya tergabung sejumlah mahasiswa penerima beasiswa, kegiatan yang sangat mulia yang mencoba menyelenggarakan bimbingan belajar cuma-cuma bagi siswa-siswa SMA yang berprestasi, punya kemauan untuk belajar dan tidak mampu secara ekonomi. Saya menerima tawaran untuk mengajar salah satu mata pelajaran dikegiatan ini. Awalnya masalah waktulah yang menjadi pertimbangan saya waktu itu, ada ketidakpercayaan diri apakah saya mampu membagi waktu antara tugas-tugas kuliah nantinya, mengingat saat ini saya akan melakukan penelitian untuk memenuhi tugas akhir kelulusan yang merupakan suatu kewajiban yang harus dikerjakan diakhir perkuliahan ini. Akhirnya muncul keyakinan saya memutuskan begabung dalam kegiatan ini. Saya sengaja memilih beberapa topik saja, berbagi tugas dengan teman lainnya, karena saya sadar dan ada ketakutan sendiri apabila tidak mampu meluangkan waktu atas semua kesibukan-kesibukan.


Kegiatan ini mulai berjalan, awalnya tidak ada masalah berarti semua berjalan lancar, begitu juga saya bisa meluangkan waktu untuk bisa datang dan hadir mengajar peserta bimbingan. Sampai pada waktu dimana akhir-akhir ini terjadi masalah pada kegiatan ini, banyak pengajar yang tidak bisa datang untuk mengajar dan lari dari komitmen mereka sebelumnya, dan lagi-lagi masalah waktu, sibuk dengan kuliah, lab/praktikum atau segala macam bentuk kegiatan akademis serta rutinitas yang memang menjadi kewajiban pokok seorang mahasiwa. Sehingga, membuat kegiatan ini pincang dan mulai membuat panik semua yang terlibat dalam kegiatan ini, terutama panitia yang merasa memiliki tanggung jawab lebih atas kegiatan tersebut.

Mengingat masalah yang kami alami saat ini, ada salah satu cerita yang menurut saya sangat-sangat inspiratif tentang waktu, yang membuat kita bisa termenung sebentar dan mulai berpikir. Silahkan baca….

Ada seorang ayah setelah pulang dari kantor hari sudah larut malam, dengan perasaan sangat lelah dan kesal sekali dia masuk ke dalam rumah, dia menemukan anaknya yang baru berusia lima tahun duduk bersandar di atas kursi sedang menunggunya.
“Ayah, apakah saya boleh mengajukan satu pertanyaan?” tanya anak itu penuh harap.
“Tentu saja boleh, apa yang ingin kau tanyakan?” balas sang ayah.
“Mmm…..Berapa upah ayah bekerja setiap jamnya?”
“Wah, masalah seperti ini tidak perlu dipertanyakan. Mengapa tiba-tiba menanyakan hal ini?” Ayahnya menjawab dengan nada sedikit gusar.
“Ayah, saya hanya ingin mengetahui, berapa upah Ayah per jam? Tolong beritahu saya…”
Dengan nada suara yang agak gemetaran anak tersebut memohon dengan sangat.
“Baiklah! Kalau kamu merasa harus mengetahuinya, upah ayah setiap jamnya lima puluh ribu rupiah.”
“Uhh….” Anak kecil tersebut menundukkan kepala dan berpikir sejenak, kemudian melanjutkan berkata, “Ayah, bolehkah saya meminjam uang sebesar lima puluh ribu rupiah?”
Kesabaran ayah anak itu telah habis, dengan nada keras dia menegur, “Jika kamu menanyakan persoalan ini hanya ingin meminjam uang untuk membeli mainan atau benda lain yang sama sekali tidak ada gunanya itu, maka sebaiknya kamu sekarang segera kembali ke kamar! Coba pikirkan mengapa kamu hanya mementingkan diri sendiri.  Ayah setiap hari bekerja lembur dengan susah payah untuk memberikan nafkah kepada kalian, tidak ada waktu yang berlebihan untuk permainan semacam ini!”
Akhirnya dengan tertunduk lesu anak tersebut masuk ke dalam kamar tidurnya dan menutup pintu kamar.
Setelah duduk di atas kursi, si Ayah memikirkan kembali pertanyaan anaknya, semakin dipikir semakin menjadi jengkel.
“Beraninya dia menanyakan hal tersebut hanya demi meminjam uang?” Dalam hati ayah tersebut terus berpikir.
Namun lewat satu jam kemudian, pada akhirnya si Ayah bisa menenangkan diri. Dia mulai berpikir, “Mungkin sikap saya terlalu keras terhadap anak itu, atau mungkin dia seharusnya menggunakan uang lima puluh ribu tersebut untuk membelikan barang yang benar-benar dia inginkan, agar tidak sering-sering lagi minta uang kepadaku.”
Karena itu sang ayah pergi ke kamar anaknya dan mengetuk pintu kamar sambil bertanya, “Anakku, apakah kamu sudah tidur?”
“Belum, Ayah. Saya masih terjaga……” sahut anak itu lirih.
“Ayah baru saja berpikir, mungkin ayah terlalu keras terhadapmu….” Ayah tersebut melanjutkan berkata, “Maafkan Ayah yang telah meluapkan kekesalan dalam hati! Ini Ayah berikan uang yang kau kehendaki……” kata si Ayah sambil menyodorkan uang itu pada anaknya.
Dengan tersenyum simpul anak tersebut duduk di atas ranjang sambil berteriak girang, “Terima kasih ayah!”. Anak itu lalu mengeluarkan uang kertas yang sudah lusuh serta uang receh dari bawah bantalnya.
Si Ayah yang melihat anaknya telah memiliki uang sebesar itu, dan masih juga meminta uang kepadanya, hampir membuat kejengkelannya meluap lagi.
Dengan hati-hati anak itu menghitung uangnya, “Seribu, sepuluh ribu, dua puluh lima ribu, empat puluh ribu…… lima puluh ribu……” gumamnya menghitung uang receh yang dia miliki. Ketika genap seratus ribu, dengan mata berbinar dia memandang ke ayahnya.
Baru saja ingin mengatakan sesuatu, si Ayah sudah tidak bisa menahan kejengkelannya, dengan nada gusar dia bertanya, “Kamu telah mempunyai uang sebanyak itu, mengapa masih juga meminta lagi?”
“Karena…uang saya…….tak mencukupi….tetapi…. tapi….. sekarang sudah mencukupi…..”
Dengan terbata-bata anak tersebut melanjutkan perkataannya, “Ayah, sekarang saya sudah mempunyai uang sebanyak seratus ribu, bolehkah saya membeli waktu Ayah selama dua jam? Karena besok saya sangat ingin sekali makan malam bersama ayah……”
Mata jernih anak tersebut berlinangan air mata, sedangkan di dalam hati sang ayah penuh dengan penyesalan.
Ini menjadi bahan renungan bagi kita sebegitu susahkah kita melungkan sedikit waktu bagi orang-orang terdekat, meluangkan sedikit waktu untuk komitmen yang memang telah kita putuskan sebelumnya. Termasuk apa yang saya dan teman-teman yang tergabung dalam kegiatan sekarang kami lakukan.
Sekalipun itu sederhana, dengan berusaha meluangkan waktu  dalam kesibukan dan kesempitan. Namun ternyata disanalah letak ketulusan dan rasa ikhlas kita dalam melakukan kegiatan apapun setiap harinya. Mungkin sudah biasa bagi kita untuk bisa meluangkan waktu ketika libur datang atau terbebas dari berbagai tugas-tugas kuliah, atau long weekend dan sejenisnya. Namun begitu luar biasalah kiranya kita bisa meluangkan waktu disela-sela kesibukan yang kita alami untuk hal-hal yang positif, yang kita senangi serta untuk orang-orang yang terdekat walaupun hanya sejenak saja, sebagai wujud atas ketulusan dan keikhlasan kita menjalani hal-hal tersebut.


Selasa, 13 Maret 2012

Memberi...

Ketika ditanya, apa yang membuat kebahagian manusia saat ini. Mungkin jawaban yang paling tepat adalah dengan memberi kebahagian kepada orang lain (K.G. Lim, 1996). Sudah banyak keajaiban yang dirasakan dengan memberi secara iklas tanpa balasan apapun, memberi melawan teori matematis yang pernah ada, dalam teori matematis dengan memberikan berarti kita akan kekurangan. Namun memberi dengan wujud kerendahan hati kita di hadapan Sang pencipta, ikhlas walau dalam kekurangan,  sudah banyak keajaiban mebuktikan sehingga kita di tambahkan nikmat yang melimpah-limpah atas rasa syukur dan tanpa pamrih kita.

Memberi berarti melakukan inisiatif pertama tanpa mengharapkan balasan, karna kita tahu semua akan dibalas dan diperhitungkan sebagai amalan dan rasa syukur kita akan nikmat yang diberikan sang khalik walau sebesar biji-bijian yang sangat halus dan tak kasat mata. Percayalah apa yang telah kita berikan, mulai dengan hal kecil sampai sebesar apapun itu, senyuman, tawa, kesejukan, pujian, perhatian, simpati, empati, pembelajaran, uang dan materi akan memberikan dampak bagi penerima dan pemberi. Rasakan ada kenyamanan tersendiri ketika kita berbuat baik dengan tulus dan ikhlas apapun itu bentuknya.  

Teringat satu tulisan yang pernah saya baca (Parlindungan, 2009), "Semua sudah ada yang mengatur. Memberi dari kelebihan mungkin hal yang biasa  yang sudah seharusnya dilakukan. Namun, ketika memberi dari kekurangan kita, disinilah pemaknaan hidup yang lebih tinggi lagi".
 

Total Pageviews