Sore
itu memang hujan, bersamaan dengan beberapa kesibukan saya dikampus, sebelum
bersenang-senang (jalan-jalan) saya sengaja mengejar deadline tugas yang
lumayan banyak. Sore itu saya telat sampai terminal Giwangan Jogjakarta, niat
hati mau berangkat bersama ke kaki Gunung Lawu, karena kami menggunakan trans
Jogja alhasil saya dan satu orang teman, “bang suluh” diajak secara tidak
langsung mutar-mutar jogja. Puyeng sih, Jarak tempuh yang harusnya kurang lebih
setengah jam dengan sepeda motor tapi menjadi satu setengah jam, sms dan telfon
berdatangan dari salah satu panitia pendakian massal gunung lawu bersama
Backpacker Indonesia Regional Jogja. Sampai di giwangan jam 6 sore, kami
langsung berangkat ada beberapa orang juga yang telat sedangkan yang lain udah
berangkat duluan dengan bus yang berbeda. Tujuan kami kali ini ke kota Solo,
dengan jarak tempuh kurang lebih dua jam. Sampai di solo sudah menunggu teman-teman
baru saya, ada sekitar 28 orang yang akan ikut dalam pendakian ini. Kami
langsung melanjutkan perjalanan dengan bis yang berbeda kearah perbatasan jawa
timur dan jawa tengah. Tujuan kami adalah kaki gunung lawu melalui jalur Cemoro
Sewu. Jam 10 malam sampai di Basecamp,
warung dimana kami akan mengemas ulang barang bawaan dan logistik ke puncak nanti.
Sesaat sebelum berangkat
Ini
pendakian pertama saya di pulau Jawa, gunung Lawu salah satu gunung yang
lumayan populer bagi pendaki dengan ketinggian sekitar 3265 MDPL, tidak aktif, memiliki
vegetasi tumbuhan yang sangat beragam disepanjang jalur pendakian dan sangat
dikeramatkan, tidak heran saat pendakian bukan hanya anak muda yang mendaki
tapi warga sekitar bapak-bapak dan ibu-ibu bahkan anak-anak juga ikut mendaki
untuk melakukan ziarah.
Sekitar
jam 12 malam dengan diawali doa dipintu rimba, kami memulai langkah. Jalur daki
sangat jelas dan berbatu tertata rapi. Awal perjalanan jalur ditumbuhi oleh pohon - pohon cemara,
karena lebatnya hutan cemara yang tumbuh maka daerah ini dinamai Cemoro Sewu ( Seribu Cemara ).
Pendakian dibagi menjadi 4 kelompok, saya dan 6 orang lainnya bergabung
di kelompok 3 kami akan melewati 5 pos hingga sampai kepuncak.
Perjalanan
ke pos 1 tidak terlalu terjal, saya tidak terlalu mengetahui kondisi kiri dan
kanan saya karena hanya ditemani senter dan fokus kedepan, sebelum pos 1 kami sempat
istirahat didekat Sumber Air Wesanan, mbah saraf kami memanggilnya dia
merupakan ranger kami kali ini, dengan kulkas besar yang dipikulnya serta gentongan
sapi yang bergelayutan disisi tasnya mengeluarkan bunyi unik menemani langkah
kami malam itu, dikeluarkan lah derijen air kecil dari kulkasnya itu untuk
sekedar mengambil air bersih disana.
Jalur pendakian sedikit demi sedikit akan semakin menanjak
seiring kita memasuki kawasan hutan. Berjalan kembali kurang lebih 60 menit
kita bertemu dengan pos 1. Disini terdapat warung disisi kiri dan kanan jalan
tapi karena sudah malam warung ini ga buka. Inilah keunikan dari gunung lawu
banyak terdapat warung sepanjang jalur, dan yang paling terkenal adalah Warung
Mbok Yem di ketinggian 3100 mdpl yang nanti akan kami cicipi nasi pecelnya,
khas mpok Yem dipuncak gunung lawu.
Beranjak dari pos 1 jalur makin curam, dinginnya malam mulai
menusuk, kabut juga mulai menghampiri kami diselingi dengan deru angin gunung
yang menambah suasana kalau kami sedang berdampingan langsung dengan alam. Jalur
kali ini terasa sangat lama, kami beberapa kali istirahat. Mbah saraf pun
merelakan kulkasnya dibawa oleh bang suluh saking beratnya track kali ini.
Sekitar 90 menit kita akan sampai di pos 2. Dataran cukup
lebar bisa untuk mendirikan tenda dan bermalam tetapi tidak terdapat mata air
di pos ini. Jam 4 pagi saya dan kelompok
lainnya sampai disini, sebentar lagi mentari akan menyembulkan cahayanya. Kami
akan istirahat disini, bergegas mendirikan tenda dan mengeluarkan beberapa
logistik untuk memasak sarapan pagi kami. Lembayung matahari terbit sangat
indah disela-sela perbukitan sejauh mata memandang, masih lumayan gelap juga.
Alangkah terkejut kami ketika pagi Pos 2 tak ubahnya seperti TPA, sampah
menumpuk dimana-dimana, katanya pada 1 Suro
pendakian sangat ramai, efeknya sebanding dengan banyaknya sampah yang
dihasilkan. Lagi-lagi saya teringat, kata-kata salah satu teman, kami sempat
kenalan waktu ngetrip ke salah satu
daerah di Medan waktu itu, WNA dari Francis yang kerja dimedan dia sangat
mengagumi keindahan Indonesia khusus Sumatera, “tapi kalian ga mampu
menjaganya, lihat itu sampah berserakan dimana-dimana sangat disayangkan”
katanya dengan nada emosi. Di Pos 2 ini ada bangunan untuk istirahat nampak dipenuhi
corat-coret tangan jahil, banyak coretan dengan kata-kata “Lestari” tetapi
mereka ga sadar tulisan itu malah merusak.
Pos 2
Matahari terbit disisi tenda
Sarapan pagi di Pos 2
Jam 9 pagi kami gerak menuju Pos 3, Selepas pos 2 jalanan
akan semakin menanjak dengan kemiringan yang cukup curam, disini fisik dan
mental benar benar diuji. Disinilah indahnya pendakian itu ku rasa, bukan
berusaha menaklukan puncak yang jauh diatas sana. Tapi bagaimana menaklukkan
diri sendiri, disinilah kita merasa kecil sebegitu dasyatnya alam semesta
ciptaan Tuhan ini. Tidak ada yang bisa kita sombongkan. Bebatuan yang menanjak
membuat kita tahu kemampuan diri sendiri, kapan akan berhenti dan melangkah
lagi, kapan kita mengatur nafas, istirahat dan mulai berjalan lagi. Dan semua
itu cuman bisa kita rasakan ketika mendaki, banyak orang menganggap ini hobi yang
sia-sia. Kalau saya tidak pernah mencoba mungkin saya juga akan mengatakan hal
yang sama.
Entah udah berapa lama kami berjalan jam 11.00 kurang kami
menjumpai pos 3. Selepas kawasan pos 3, kita akan mendapatkan track yang sangat menanjak, dari sekian
jalur menurut kami ini adalah jalur terberat di jalur cemoro sewu, saya dan
beberapa teman lainnya banyak istirahat disini selain pemandangannya juga
indah. dari jauh kelihatan telaga, sepertinya itu telaga Sarangan. Di jalur ini
kita juga akan disuguhi pemandangan beberapa Edelweis nan anggun tumbuh
disela-sela bebatuan tebing curam.
Menuju Pos 4
Edelweis disekitar jalur menuju pos 4
Menuju Pos 4 jalur menanjak, merangkak
pada batu-batuan dan beberapa jalur dilengkapi pegangan besi untuk mengatur
keseimbangan. Pos 4 hanya berupa tempat datar
yang sempit yang berada di cerukan tebing batu berwarna putih, tapi
pemandangannya sangat indah serasa diatas awan, angin disini juga cukup
kencang. Tidak kami lewatkan begitu saja momen ini dengan mengabadikannya dalam
jepretan kamera.
Pos 4
Penampakan di Pos 4
Setelah melewati Pos 4 kita sudah berada
dilereng yang curam, tidak jauh beda dengan jalur sebelumnya disini juga
lumayan berat, perlahan lahan berjalan
kita akan keluar dari lingkupan hutan, vegetasi tumbuhan mulai berubah lebih
banyak ilalang dan tumbuhan perdu disini, di Pos 5 ada satu warung juga kami
memutuskan melanjutkan perjalanan saja, walaupun perut terasa lapar, track bonus mendatar banyak kami jumpai,
ini menandakan kami akan segera sampai di sendang drajat. Pemandangan lepas nan
indah, nyamannya mata memandang awan bergulung di bawah kaki kita, kota kota
bak mainan kecil di hadapan megah semesta raya. Sungguh indah, cuaca sangat
mendukung.
Warung di Pos 5
Menuju Sendang drajat, pemandangannya sangat indah
Amazing...!!!!! Im above the clouds.
Sekitar Jam 3 sore kami di Pos Sendang Drajat, ini tempat untuk kami mendirikan tenda
dan bermalam nantinya. Disini terdapat mata air, warung, sebuah goa buatan
kecil, dan toilet walaupun dengan keadaan kotor dan tidak terawat. Saya dan
teman-teman lain memesan teh hangat dan nasi pecel untuk mengisi perut yang
kosong sekalian makan siang walaupun telat. Kami nikmati suguhan makanan dari sepasang
suami istri yang lumayan berumur pemilik warung (ga gratis ya hehehe) sembari
menunggu kelompok lain datang.
Mendirikan tenda di Sendang Drajat
Semakin sore udara semakin dingin, wajah, tangan dan kakiku
serasa beku ketika berwudhu sore itu. Setelah makan malam kami istirahat dan melanjutkan
perjalanan menuju puncak lawu esok pagi.
Pagi-pagi warna lembayung keemasan menyembul disisi barat
tenda kami, saatnya kami bergegas ke puncak dengan berjalan kurang 60 menit
kami sampai di puncak lawu Hargo Dumilah 3265
MDPL . Sudah banyak pendaki dipuncak pagi itu, kami abadikan momen
sunrise dipuncak.
Lembayung keemasan menyembul disisi barat tenda
Hari Pahlawan (10 Nop di puncak Gn. Lawu)
Wajib narsis
Setelah puas
berfoto-foto kami lanjutkan sarapan ke warung tertinggi di Pulau Jawa, warung
Mbok Yem (3100 MDPL), lalu Hargo Dalem, sebuah
petilasan dan makam peninggalan dari Prabu Brawijaya (Raja terakhir Kerajaan
Majapahit). Konon disinilah tempat Prabu Brawijaya "Muksa",
Menghilang dengan seluruh jasadnya. Lalu diakhiri dengan Rumah Botol, rumah
unik karena
bahan material untuk membangunnya bukan dari bahan-bahan yang lazim digunakan
untuk membangun rumah, rumah unik ini di bangun dari limbah, yaitu limah botol
bekas air mineral dan beberapa kaleng bekas minuman yang disusun sedemikian
rupa menjadi bentuk rumah. Dan rumah ini bisa dihuni, terlihat dari pintu yang
terkunci rapat, dengan gembok yang sudah aus dimakan waktu.
Mpok Yem dan cucunya (bocah termuda pendaki gn. Lawu)
Rumah Botol
Akhirnya
tiba saatnya untuk turun, perjalanan kali ini akan kami tempuh dalam waktu 4
jam lebih sampai basecamp di kaki
gunung lawu dengan jalur yang sama Cemoro Sewu. Beberapa kali saya mendaki,
pulangnya pasti akan semakin akrab dan serasa keluarga sendiri, entah kenapa
bisa begitu. Terima Kasih banyak BPI regional Jogja dan teman-teman baru ku
yang ga bisa disebutkan satu persatu.
Sampai bertemu ditrip selanjutnya.
Kelompok 2 turun gunung
Jalan pulang
Terima kasih banyak kawan...!!!!